Menu Tutup

Kisah dan Mitos Suku Dinka di Sudan

Suku Dinka merupakan kelompok etnis paling menonjol yang mendiami wilayah selatan Sudan dan negara merdeka Sudan Selatan. Secara kolektif, suku ini mencakup hampir setengah dari populasi yang tinggal di Sudan selatan. Asal usul orang suku Dinka dapat ditelusuri kembali ke orang Nilotik yang pada zaman kuno tiba di Sudan selatan dari kaki dataran tinggi Ethiopia dan menetap di wilayah tersebut.

suku dinka sudan

Suku Dinka di Sudan Selatan sebagian besar mendiami wilayah yang dekat dengan lahan basah musiman yang banjir secara berkala. Karakteristik lingkungan ini menimbulkan tantangan yang signifikan terhadap cara hidup mereka. Selain tantangan alam, faktor buatan manusia telah memengaruhi migrasi suku Dinka dari wilayah adat mereka di Sudan Selatan. Perang saudara Sudan sangat memaksa banyak orang suku Dinka untuk bermigrasi, banyak yang pindah ke ibu kota Sudan, Khartoum, atau melintasi perbatasan.

Sejarawan mengkategorikan suku Nilotik menjadi dua cabang yaitu Nilotik dan Nilo-Hamitik. Suku Dinka termasuk dalam kategori pertama. Penting untuk dicatat bahwa sebelum pemisahan diri Sudan Selatan, suku Dinka merupakan suku yang paling banyak jumlahnya di Sudan. Beberapa sumber menyatakan bahwa suku Dinka merupakan suku terbesar kedua di Afrika, setelah suku Maasai di Kenya.

Sejarawan selanjutnya membagi suku Dinka menjadi dua kelompok besar yaitu Dinka Lit dan Dinka Akwi. Yang pertama dinamai menurut leluhur suku Dinka yang bernama Lit, sedangkan yang kedua dinamai menurut Ouk Awi yang namanya melambangkan elang putih yang kuat yang dikenal karena kecepatan dan serangannya yang tepat.

Tiga garis keturunan berasal dari kelompok Dinka Akwi: Rek Dinka, Gogrial Dinka, dan Malual Dinka. Di antara kelompok-kelompok ini, kelompok Malual Dinka yang sebagian besar berlokasi di Kota Aweil, Sudan Selatan adalah yang terbesar.

Etimologi

Istilah “Dinka” secara etimologis dapat didekonstruksi menjadi dua komponen dasar yaitu “Din” yang berarti asal, dan “Ka” yang berarti rumah. Akibatnya makna komprehensif dari “Dinka” dapat diartikan sebagai “asal-usul rumah”.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Suku Dinka di Sudan Selatan, masyarakat Dinka menjalani kehidupan bercocok tanam. Mata pencaharian mereka bergantung pada praktik campuran memelihara ternak di perkemahan yang berdekatan dengan sungai selama musim kemarau sambil menanam sorgum dan berbagai biji-bijian lainnya di pemukiman permanen selama musim hujan.

Bahasa

Ahli bahasa Joseph Greenberg menempatkan bahasa Dinka dalam keluarga kedua bahasa Afrika, yang dikenal sebagai Nilo-Sahara. Bahasa Dinka yang biasa disebut sebagai “Dinka” menggunakan sistem penulisan berdasarkan alfabet Latin yang diperkaya dengan penyertaan unsur-unsur lokal.

“Chi back” merupakan sapaan umum di antara masyarakat Dinka, yang berarti “Apa kabar?”. Respons terhadap “Chi back” adalah “avado” yang menandakan bahwa orang tersebut merasa sehat atau dalam kondisi baik.

Deng Det

Masyarakat Dinka memiliki seperangkat kepercayaan unik yang didasarkan pada mitos dan ritual khas yang hampir membentuk agama mereka sendiri, lengkap dengan kisah penciptaan dan ritual seputar kematian. Suku Dinka percaya pada satu dewa yang dikenal sebagai “Nhialic” yang rohnya bersemayam dalam diri anggota suku tersebut.

Mereka juga percaya bahwa leluhur mereka, Deng Det, memiliki sifat dan karakteristik yang mirip dengan para nabi. Menurut al-Badawi, dalam tradisi suku Dinka, kelahiran Deng Det disamakan dengan kelahiran Yesus Kristus.

Mitos ini berkisar pada kedatangan leluhur Dinka yang dihormati, Deng Det yang namanya dalam bahasa Dinka yang berarti “Dewa Tertinggi”. Kisah ini mengisahkan bagaimana pada suatu hari hujan dengan awan tebal, seorang gadis tinggi dan anggun bernama Alwet turun dari surga. Dia tampak hamil dan segera setelah kedatangannya, melahirkan bayi cantik yang giginya memukau semua orang yang melihatnya. Alwet berjanji untuk mengungkapkan lebih banyak tentang anak itu, tetapi hanya setelah Dinka menyembelih banteng putih, berpesta, dan merayakan.

Menurut legenda, Alwet mengungkapkan bahwa nama anak itu adalah Deng Det. Ia meramalkan bahwa Deng Det akan melindungi suku Dinka dan menjadi penghubung penting antara dirinya dan mereka.

Kemudian Alwet menghilang. Di tengah hujan lebat, kilat, dan guntur, ia kembali ke langit, meninggalkan anaknya dalam perawatan suku Dinka yang kini menganggapnya sebagai kakek mereka. Deng Det menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual, menasihati untuk tidak mencuri, mendorong kedermawanan, dan menekankan rasa hormat kepada wanita, terutama orang tua. Ia juga melarang perzinahan dan pengkhianatan, menganjurkan keramahtamahan terhadap orang asing, dan mempromosikan penggunaan sapi sebagai mas kawin dalam pernikahan.

Patut dicatat bahwa mitos alternatif menghubungkan asal-usul Dinka dengan nenek moyang yang berbeda yang bernama Garang.

sapi suku dinka sudan

Ritual Kematian

Suku Dinka memiliki kepercayaan mendalam akan keabadian melalui reinkarnasi jiwa dan dengan mengabadikan nama orang yang meninggal untuk mengabadikan kenangan mereka. Agama Dinka mengakui keberadaan “kujur”, yaitu roh yang tinggal dalam diri orang terpilih yang bertindak sebagai mediator antara dunia kita dan dunia roh.

Kujur orang yang meninggal dapat bereinkarnasi menjadi hewan, pohon, hujan, api, atau unsur alam lainnya, meskipun diberikan kutukan pada hewan atau benda yang terkait, sehingga menjadikannya anggota keluarga. Misalnya kita berasal dari suku Dinka, dan keluarga menganggap singa sebagai reinkarnasi bagian dari keluarga. Kita lahir bersama dan memiliki darah yang sama.

Oleh karena itu kita tidak memburu atau menyakiti singa, meskipun singa itu mengancam ternak. Dalam kasus seperti itu, singa itu boleh mengambil bagian dari kekayaan keluarga. Namun jika seekor singa membunuh salah satu anggota keluarga, diyakini bahwa pengorbanan yang dilakukan selama pernikahan salah satu anggota keluarga tidak cukup untuk mencegah terjadinya bahaya.

Suku Dinka memiliki ritual rumit seputar kematian yang bersumber dari kepercayaan mereka akan kehidupan abadi setelah kematian: Ritual-ritual ini berbeda antara orang biasa dan sultan, memberikan penghiburan bahwa jiwa yang meninggal akan tenang. Mengabaikan ritual-ritual ini dianggap akan mendatangkan malapetaka bagi keluarga.

Mitos tentang Tuhan dan Kehidupan

Salah satu mitos paling mendasar tentang Dinka berpusat pada hubungan antara Tuhan dan kehidupan. Buku Suku Dinka di Sudan Selatan menggambarkan kepercayaan bahwa dulunya ada hubungan yang dekat dan terus-menerus antara bumi dan langit, yang membuat Tuhan lebih mudah diakses oleh manusia. Usia tua bukanlah sumber ketakutan, mereka yang mencapainya dapat melakukan perjalanan dari bumi ke surga dan kembali dengan semangat muda begitu bulan sabit muncul. Tali yang menghubungkan langit dan bumi memudahkan perjalanan.

Menurut mitos Dinka, kematian dan usia tua muncul saat seekor burung betina bernama Atoc tersinggung setelah seorang wanita membunuh salah satu anak Atoc saat mengusir mereka dari sorgum yang sedang digilingnya. Sebagai balasannya, Atoc memutuskan tali antara surga dan bumi sehingga manusia kehilangan kegembiraan hidup. Menurut suku Dinka, kematian telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak saat itu.

Terusan Jonglei

Proyek Terusan Jonglei yang awalnya diusulkan selama pendudukan Inggris di Sudan dan Mesir pada abad ke-19, berupaya mengubah aliran Sungai Nil Putih, mengalihkan air dari lahan basah di Sudan Selatan untuk mencegah hilangnya air. Sungai Nil Putih adalah salah satu dari dua anak sungai utama Sungai Nil.

Pembangunan proyek ini dimulai puluhan tahun lalu, tetapi dihentikan setelah selesai sekitar 70 persen akibat perang saudara Sudan yang berkecamuk dari tahun 1983 hingga 2005. Beberapa pihak berpendapat bahwa pembangunan kanal tersebut berperan dalam memicu perang saudara dan kemudian kemerdekaan Sudan Selatan pada tahun 2011.

Proyek ini terus menuai reaksi beragam. Para pendukung percaya bahwa proyek ini akan memungkinkan pemanfaatan kelebihan air rawa yang seharusnya menguap, sehingga menguntungkan Mesir dan Sudan.

Sebaliknya penduduk di selatan termasuk suku Dinka memandang kanal tersebut sebagai ancaman bagi padang rumput mereka. Mereka juga percaya bahwa setelah selesai air kanal tersebut akan membanjiri Lembah Aliyab, tempat mereka menggembalakan ternak. Karena alasan ini proyek kanal tersebut menjadi sasaran pasukan separatis selama perang saudara.

Tinjauan Umum Konflik Politik

Berbagai kelompok di Sudan Selatan telah menyuarakan keprihatinan mereka mengenai pengaruh dominan suku Dinka baik sebelum maupun sesudah pemisahan wilayah tersebut dari Sudan. Suku Nuer telah menjadi penentang utama suku Dinka di berbagai titik dalam sejarah Sudan. Persaingan mereka yang sudah berlangsung lama muncul ke permukaan ketika Sudan Selatan memperoleh kemerdekaan pada tahun 2011.

Posted in Sudan

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *