Suku Alawi Arab di Turki menghadapi tantangan dalam membujuk generasi muda untuk mempertahankan akar Arab mereka dan menjaga adat istiadat serta tradisi. Penganut Alevi di Turki dan penganut Alawi di Arab sering kali tertukar satu sama lain. Di Turki, penganut Alevi memadukan kepercayaan Syiah dan praktik Sufi. Sejarah suku Alevi di Turki bermula dari kedatangan suku-suku Turki di wilayah Anatolia.
Disebut sebagai Alevis Anatolia, mereka ditemukan di antara suku Kurdi dan Turki. Ada perselisihan mengenai jumlah pasti mereka. Beberapa pihak berpendapat bahwa mereka mencakup sekitar 25 persen dari populasi Turki yang menjadikan mereka minoritas terbesar di negara tersebut.
Sebagian besar Suku Alawi Arab di Turki tinggal di sepanjang garis pantai Mediterania di wilayah seperti Hatay, Adana, Mersin, dan meluas hingga Antalya. Ada juga beberapa ribu penganut Alawi Arab di Ankara dan Istanbul.
Obligasi Historis
Suku Alawi Arab awalnya berada di bawah kekuasaan Suriah hingga tahun 1939. Selama Mandat Prancis, Sanjak Alexandretta (Iskenderun) memisahkan diri dan kemudian bergabung dengan Turki melalui referendum. Wilayah tersebut sekarang dikenal sebagai Provinsi Hatay di Turki.
Penganut Alawi Arab di Turki dapat dianggap sebagai perpanjangan dari komunitas Alawi di Suriah. Mereka memiliki hubungan kekeluargaan dengan para anggota sekte tersebut di Suriah dan memiliki kemampuan berbahasa Arab yang juga diwariskan kepada anak-anak mereka. Penganut Alawi Arab merupakan sekitar 5 hingga 7 persen dari penganut Alevi di Turki yang jumlahnya diperkirakan mencapai 250.000 orang.
Istilah Nusayris digunakan oleh orang Turki untuk membedakan antara penduduk Hatay dan orang Alevi lainnya di Turki dan untuk menunjukkan hubungan mereka dengan orang Alawi di Suriah. Pegunungan Pesisir Suriah alias Pegunungan Nusayri berada di sebelah selatan Hatay.
Aneksasi Alexandretta
Sebelum Sebelum bergabung dengan Turki pada tahun 1939, wilayah Alexandretta merupakan bagian dari provinsi Aleppo selama pemerintahan Ottoman di Suriah. Wilayah ini berada di bawah kewenangan Mandat Prancis dalam wilayah yang disebut Zona Biru yang menunjukkan bahwa Prancis dan Turki memperlakukan wilayah tersebut sebagai wilayah Suriah selama periode tersebut.
Sebelum dianeksasi oleh Turki, Alexandretta terletak di bagian barat laut Suriah yang jauh di dalam batas-batas politik asli Suriah. Kota ini menghadap ke Laut Tengah di sebelah barat melalui Teluk Samandağ dan Iskenderun. Di sebelah timur dan tenggara terdapat provinsi Idlib dan Aleppo, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan kota Latakia.
Penduduk Provinsi Hatay terbagi antara suku Alawi dan Sunni bersama dengan suku Turki, Sirkasia, Kurdi dan minoritas kecil Armenia.
Praktik dan Ritual Keagamaan
Alawisme menggabungkan berbagai sekte Syiah dan menggabungkan kepercayaan dan praktik dari budaya Anatolia, sehingga menghasilkan struktur khas yang membedakannya dari Islam Sunni. Kaum Alevi Anatolia dan kaum Alawi Arab berbeda, meskipun mereka menghormati Ali bin Abi Thalib, sepupu dan sahabat Nabi, Ahl al-Bayt atau keluarga Nabi Muhammad, dan adat istiadat lainnya.
Tidak seperti kaum Alevi Anatolia, kaum Alawi Arab percaya pada reinkarnasi dan mewariskan tradisi melalui ritual khusus laki-laki. Menurut Alawisme, perempuan tidak memiliki jiwa dan potensi untuk bereinkarnasi. Kaum Alawi Arab merayakan Idul Ghadir, hari raya penting yang memperingati hari pengangkatan Imam Ali sebagai penerus.
Penganut Alevi di Turki tidak berpuasa selama bulan Ramadan. Banyak yang pergi berziarah ke makam Haji Bektash Veli, seorang mistikus, filsuf, dan penyair Sufi terkemuka yang tinggal di Anatolia pada abad ketiga belas dan keempat belas. Penganut Alevi di Anatolia berbeda dari penganut Alawi karena mereka memeluk ritual tari Sufi melalui hubungan mereka dengan tarekat Bektashi.
Penganiayaan oleh kekaisaran Ottoman
Kekaisaran Ottoman menuduh kaum Alawi dan Alevi mendukung kaum Safawi di Iran selama konflik mereka dengan Ottoman. Tuduhan tersebut mengakibatkan kampanye yang bertujuan untuk membasmi kaum Alevi yang mendorong mereka untuk berlindung di pegunungan dan menjadi lebih terisolasi.
Konflik terus berlanjut dengan penduduk Turki yang lebih luas, terutama di kalangan Sunni, hingga Sultan Abdulhamid II mengakui bahwa suku Nusayri adalah Muslim. Ia kemudian memasukkan mereka ke dalam pasukan Ottoman selama Perang Dunia II.
Penganut Alawi terkadang menghadapi ancaman, terutama di Istanbul dan Ankara. Ancaman ini terwujud dalam bentuk grafiti yang menyinggung dan tanda palang merah di pintu dan dinding rumah mereka. Akibatnya banyak penganut Alawi merasa perlu menyembunyikan identitas mereka.
Marjinalisasi dan Turkifikasi
Mirip dengan minoritas etnis dan agama lainnya, suku Alawi Arab di Turki mengalami kebijakan pemerintah yang bertujuan menghapus identitas mereka. Namun, khususnya di wilayah barat daya tempat warga Alawi tersebar luas seperti di wilayah Hatay, mereka berusaha keras untuk menjaga keunikan mereka.
Kaum Alawi Arab di Turki menghadapi tekanan yang signifikan, seperti upaya untuk menghapus identitas Arab di provinsi Hatay dengan menggusur penduduk daerah pedesaan dari daerah asal mereka. Selain itu, upaya terus dilakukan untuk melemahkan hubungan antara suku Alawi Arab yang tersisa di Turki dan kerabat mereka di Suriah.
Turkifikasi mencakup langkah-langkah seperti pelarangan belajar bahasa Arab dan pembatasan partisipasi Alawi dalam posisi penting di badan-badan pemerintah. Selain itu, Turki tidak mengakui Alawi sebagai kelompok agama yang berbeda, dan tempat-tempat suci serta tempat ibadah mereka dikategorikan sebagai lembaga budaya.
Identitas Arab tetap kuat di Antakya dan sekitarnya, namun secara bertahap memudar di kota-kota lain dengan kehadiran Arab yang substansial, seperti Mersin dan Adana.
Hubungan dengan Pengungsi Suriah
Meskipun ada perkembangan dalam interaksi antara pengungsi Suriah dan warga Alawi Arab di Turki, integrasi sosial awal masih cukup terbatas. Meskipun interaksi terjadi dalam berbagai aspek, komunitas Alawi tetap berhati-hati dalam mengakomodasi warga Suriah di lingkungan dan wilayah mereka untuk jangka waktu yang lama.
Awalnya, kaum Alawi khawatir tentang kemungkinan meluasnya krisis Suriah dan potensi konflik sektarian dan politik, yang menyebabkan banyak desa Alawi mempersenjatai diri sebagai tindakan pencegahan. Banyak kaum Alawi Arab di Turki mendukung rezim yang berkuasa di Suriah dan memandang krisis Suriah sebagai sesuatu yang dirancang untuk sabotase, sementara sebagian besar pengungsi Suriah mengambil sikap yang berbeda.
Seiring berjalannya waktu, perasaan permusuhan, kekhawatiran, dan tindakan bias dari wilayah Alawite telah berkurang sebagai hasil dari upaya integrasi dan upaya negara Turki untuk mencegah masalah. Akibatnya, ketakutan berangsur-angsur mereda.
Perjuangan Antara Dua Identitas
Orang Turki keturunan Arab khususnya Alawi, umumnya mempertahankan hubungan yang kuat dengan identitas Arab mereka. Mereka sering berbicara bahasa Arab dan berusaha mewariskannya kepada anak-anak mereka.
Namun kaum Alawi menghadapi tantangan dalam membujuk generasi muda untuk mempertahankan akar Arab mereka dan menjaga adat istiadat serta tradisi. Dinamika ini muncul dari upaya pemerintah Turki untuk menghapus identitas suku Alawi Arab dan meningkatnya pengaruh budaya dan nasionalisme Turki pada generasi muda.
Situasinya telah berubah, dan berbicara bahasa Arab terutama terbatas pada generasi yang lebih tua. Hal ini mencerminkan niat negara Turki sejak Sanjak Alexandretta dianeksasi.