Masyarakat Libya terdiri dari banyak suku, termasuk Arab, Berber, Fenisia, Tuareg, Toubou, Afrika, Turki, Yunani, Sirkasia, Italia, dan lainnya. Setiap suku termasuk suku Toubou dengan kisah asal-usulnya yang unik, memainkan peran penting dalam komposisi penduduk Libya.
Asal, Sejarah dan Sekarang
Herodotus mengunjungi pantai timur Libya sekitar tahun 450 SM dan dalam bukunya The Histories menggambarkan suku Toubou sebagai suku Negro, Ethiopia, atau Abyssinia. Sejarawan tersebut menemukan mereka dari tempat yang sekarang disebut Fezzan di Libya melalui Chad hingga Niger dan masuk ke Sudan dan Afrika Tengah.
Sejarawan Yaqubi dan Al-Maqrizi menganggap suku Toubou memiliki kemiripan dengan suku Berber Amazigh. Namun sejarawan Jerman Gustav Nachtigal tidak setuju dalam hal ini dengan menyatakan bahwa meskipun suku Toubou tidak ada hubungannya dengan suku Berber, mereka tidak mirip dengan orang Negro. Mereka adalah orang-orang yang merupakan orang-orang perantara antara penduduk asli Afrika Utara dan orang-orang Negro Sudan.
Data sejarah kuno dan bukti ilmiah terkini menegaskan bahwa suku Toubou merupakan salah satu suku pertama yang menetap di Sahara Afrika. Sejarah mereka di beberapa habitat mungkin sudah berusia lebih dari 30.000 tahun. Menurut Abu Kala Zen, kemungkinan besar suku Toubou merupakan keturunan penggembala sapi prasejarah yang menetap di daerah tersebut dan mampu bertahan dan beradaptasi dengan gurun.
Suku Toubou kini berpenduduk lebih dari 300.000 jiwa. Statistik menunjukkan bahwa suku Toubou Libya terdiri dari suku, klan, dan keluarga besar.
Suku Toubou tinggal di wilayah Libya yang luasnya diperkirakan mencapai puluhan ribu kilometer persegi. Menurut Studi Sastra Toubou karya Amraje Al-Sahati, wilayah tersebut membentang di sepanjang perbatasan selatan dari Kufra di timur jauh hingga Qatrun dan Al-Wigh di selatan Sebha.
Etimologi dan Bahasa
Ahli Mesir Kuno asal Austria, Leo Reinisch, menyatakan bahwa kata Toubou merupakan modifikasi dari kata Tehnu. Orang Mesir kuno menggunakan kata ini untuk menggambarkan suku-suku yang mendiami wilayah di sebelah barat Delta Nil sampai gurun Libya. Beberapa peneliti menganggap kata Toubou berasal dari orang Kanuri. Kata tersebut terbagi menjadi dua suku kata: ‘tou’ nama pegunungan Tibesti menurut suku Toubou, dan ‘bou’ sufiks jamak yang ditambahkan pada nama negara untuk menunjukkan hubungan. Dengan demikian, Toubou berarti ‘Orang-orang Pegunungan’ atau dalam dialek local berarti ‘Orang-orang Batu’.
Bahasa Tebu termasuk dalam keluarga bahasa Nilo-Sahara yang tonal dan dicirikan oleh nadanya yang cepat, tajam, dan serupa. Bahasa ini terbagi menjadi dua dialek utama yaitu Tedaga dan Dazaga. Tedega atau Bahasa Teda dituturkan oleh Tedu, cabang utara Toubou yang telah menjadi penduduk Libya selatan dan Pegunungan Tibesti sejak zaman kuno sebelum munculnya negara-negara modern.
Dialek Dazaga dituturkan oleh Daza. Beberapa sarjana Barat percaya bahwa Toubou tidak setuju untuk menggunakan nama tertentu untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai suatu suku.
Tradisi, Puisi, dan Wanita
Banyak penelitian yang sepakat bahwa kehidupan suku Toubou didominasi oleh tradisi mereka. Meskipun mereka berbeda garis keturunan, mereka memiliki nama suku yang sama dan merupakan bagian dari masyarakat pedesaan yang mengikuti gaya hidup tradisional.
Menurut adat Toubou, salam dilakukan dari jarak jauh. Ketika dua orang bertemu, mereka memberi hormat dari jarak 10 meter dan kemudian mendekat untuk saling menyapa tanpa berciuman. Para wanita Toubou mempraktikkan puisi ‘Hami’ untuk memuji kerabat mereka, membanggakan garis keturunan mereka, menggambarkan kepahlawanan dan memfitnah lawan. Para wanita yang membacakan Hami duduk dalam sebuah lingkaran di mana sang maestro bernyanyi dan sisanya bertepuk tangan dan menggemakan bagian-bagian puisinya.
Perempuan Toubou menempati tempat khusus dalam masyarakat mereka dan dampaknya terhadap identitas dan peradaban Toubou. Para tetua Toubou menggunakan dewan perempuan selama masa perang dan selama masa damai, mereka menawarkan nasihat di sela-sela tugas berat mereka sehari-hari. Mereka tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan Toubou kecuali dalam nama. Semua orang Toubou setara dalam semua aspek kehidupan.
Konstitusi dan Pergeseran Budaya
Empat puluh dua tetua suku Toubou bertemu untuk menyusun konstitusi mereka pada tahun 1889. Menurut Dongeng, Mitos, dan Legenda Suku Toubou, hal ini berada di bawah pengawasan pemimpin historis Sultan Chhai Boger yang juga dikenal sebagai Dorda Chhai. Ia mengumumkan hukum adat yang masih berlaku hingga saat ini. Dalam hukum-hukum ini, Chhai mengandalkan Syariah Islam dan adat istiadat yang diwarisi dari kehidupan tradisional yang berdasarkan Syariah. Konstitusi ini kemudian dikenal sebagai Kutuba atau Kundudi.
Para filsuf merujuk pada konstitusi Toubou sebagai ekspresi ringkas dari kontrak sosial. Dalam budaya Toubou, mereka menyebutnya Kutma. Para peneliti menggambarkan konstitusi Toubou sebagai kerangka kerja umum yang mendefinisikan tanggung jawab dan pasal-pasal terperinci yang menentukan prosedur yang harus diikuti. Konstitusi ini menggabungkan aspek teoritis dan prosedural.
Konstitusi ini bergerak dari mendefinisikan tanggung jawab hingga mengatur transaksi yang diperlukan, terutama yang memerlukan dikeluarkannya putusan pengadilan khusus. Ini termasuk penyelesaian sengketa, pembalasan, dan hukuman material atau moral. Konstitusi Kundudi diandalkan dalam berbagai bidang kehidupan yang mungkin dihadapi kelompok atau individu, seperti perang, pembunuhan, pencurian, pernikahan, perceraian, dan warisan. Seringkali tidak perlu melibatkan penegak hukum.
Budaya dan Warisan Takbenda
Suku Toubou memiliki kisah, legenda, dan mitos seperti masyarakat lainnya dan telah memperkaya warisan budaya Libya. Nenek-nenek mewariskan kisah-kisah seperti legenda Malahura, legenda Nana Di, kisah wanita dan unta, serta kisah unta putih yang diculik. Ada juga banyak literatur tentang hari raya keagamaan.
Suku Toubou telah hidup dalam krisis eksistensial selama bertahun-tahun setelah Muammar Gaddafi melucuti identitas dan kewarganegaraan mereka. Mereka telah menderita diskriminasi etnis oleh Ottoman dan sekarang di tangan Khalifa Haftar. Selain itu, sudah menjadi kebiasaan untuk menuduh suku Toubou mencoba mencapai kemerdekaan dari Libya yang dibantah oleh suku Toubou.
Karena konflik yang terus-menerus terjadi dengan musuh-musuh mereka, suku Toubou dikaruniai ikatan yang kuat. Namun hal ini harus dibayar dengan keterasingan dan kesulitan berintegrasi dengan orang asing. Orang-orang yang tidak mengenal suku Toubou mungkin menggambarkan mereka sebagai orang yang licik dan tidak aman, tetapi hal ini sama sekali tidak benar.
Suku Toubou sederhana, baik hati, murah hati, dan keras kepala. Mereka terkadang dapat menanggung ketidakadilan, tetapi ketika mereka memberontak, mereka seperti badai gurun yang tak terhentikan.