Kisah bangsa Nubia di Mesir merupakan bukti interaksi rumit antara sejarah, budaya, dan identitas. Bangsa Nubia merupakan bagian unik dan penting dari masyarakat Mesir.
Fitur geografis Mesir dan komunikasi manusia karena pentingnya Lembah Sungai Nil telah memainkan peran penting dalam menjaga keutuhan masyarakat Mesir dari waktu ke waktu. Masyarakat terdiri dari berbagai elemen, dan Mesir memiliki dua dimensi fundamental yaitu dimensi Afrika dan dimensi Asia. Keduanya telah memainkan peran dalam membentuk identitas Mesir dan definisinya sampai tingkat tertentu.
Hubungan Mesir dengan dimensi Afrika membawa air, makanan, dan manusia, sedangkan dimensi Asia berkontribusi pada peradaban, budaya, dan agama. Dalam bukunya, The Personality of Egypt: The Multiplicity of Dimensions and Aspects, Dr. Gamal Hamdan mengidentifikasi empat dimensi yang telah membimbing Mesir. Dimensi-dimensi ini meliputi dimensi Asia dan Afrika di tingkat benua dan Nil serta Mediterania di tingkat regional. Menurut Hamdan, berbagai pengaruh ini telah diselaraskan dan disejajarkan hingga berpuncak pada identitas khas Mesir.
Bangsa Nubia telah memainkan peran penting dalam sejarah Mesir yang terjalin erat dalam jalinannya. Meskipun kontribusi mereka sangat penting, berbagai masalah muncul dari waktu ke waktu yang mendistorsi persepsi tentang hubungan mereka dengan warisan Mesir dan memunculkan apa yang dikenal sebagai masalah Nubia.
Sejarah Nubia
Nubia terbagi menjadi dua bagian yang membentang di perbatasan antara Mesir dan Sudan. Nubia Bawah terletak di Mesir, dan Nubia Atas terletak di wilayah Sudan dengan bukti ditemukannya Piramida Nubia. Nubia membentang dari bagian selatan kota Aswan di Mesir hingga ibu kota Sudan, Khartoum.
Secara historis wilayah ini disebut sebagai tanah Kush. Menurut Institut Studi Politik dan Strategis Mesir, banyak bukti yang mendukung gagasan bahwa peradaban Nubia mendahului peradaban Mesir kuno.
Para peneliti dan penulis modern memiliki pandangan yang berbeda tentang asal usul bangsa Nubia kuno. Meskipun banyak penelitian dan kajian tentang masalah ini, tidak ada konsensus ilmiah mengenai asal usul bangsa Nubia. Di sisi lain sebagian besar peneliti setuju bahwa keberadaan mereka di Mesir sudah ada sejak lama dan menganggap interaksi mereka dengan bangsa Mesir kuno sebagai cerminan kemegahan peradaban tersebut.
Istilah Nubia muncul dalam teks-teks kuno untuk pertama kalinya dalam buku Geographica karya penjelajah Yunani Strabo. Strabo mengunjungi Mesir kuno sekitar 29 SM.
Nubia kuno membentang dari wilayah selatan Mesir hingga ke hilir Sungai Nil. Di Nubia, muncul tiga kerajaan yaitu kerajaan Kush, Meroe, dan Napata yang meliputi sebagian Cekungan Sungai Nil yang meliputi Ethiopia, Sudan, Sudan Selatan, Kongo, dan Tanzania saat ini.
Menurut Jurnalis Samia Allam, piramida dan kuil Mesir dibangun menggunakan batu yang dikenal sebagai Batu Pasir Nubia. Ia juga mencatat bahwa bangsa Nubia menguasai Mesir Kuno selama periode-periode penting termasuk dinasti ke-18 dan ke-25 yang berpengaruh yang berasal dari kota Napata di Kush.
Orang-orang Nubia terpecah menjadi berbagai faksi atau kelompok yang lebih kecil. Kekhasan budaya, warisan, dan estetika orang-orang Nubia dapat dikaitkan dengan tiga kelompok yang semuanya berasal dari Arab.
Kelompok-kelompok ini dikategorikan sebagai berikut:
- Suku Kenuz, yang berkomunikasi dalam bahasa Matuki dan menelusuri akar mereka kembali ke suku Banu Kanz
- Suku Fadija, penutur bahasa Fadiji
- Orang Arab dari Aliqat yang bermigrasi ke Nubia dari Semenanjung Sinai pada abad kedelapan belas dan berbicara bahasa Arab
Ahli Mesir Kuno menelusuri asal usul istilah Matuki ke dua kata yaitu “Matu” yang berarti Timur dan “Ki” yang berarti kedatangan. Akibatnya istilah Matuki dapat diartikan sebagai mereka yang datang dari timur.
Di sisi lain istilah “Fadija” berarti “bagian kelima”, karena tersebar di lima wilayah, sebagaimana dijelaskan secara rinci dalam buku Thus Spoke the Nubians.
Prajurit Pemanah
Pada zaman dahulu Nubia disebut dengan nama “Tatsi”, istilah Firaun kuno yang berarti pemanah atau tanah pemanah. Setelah ditemukannya tambang emas, wilayah tersebut memperoleh nama “Nub” yang berarti emas dalam bahasa Mesir kuno. Akibatnya nama Arab tersebut berubah menjadi “Nubia” seiring berjalannya waktu.
Bahasa Nubia
Semua orang Nubia menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa lisan mereka. Akan tetapi mereka memiliki bahasa khusus bernama “Ratan” yang hanya diketahui oleh orang-orang tua mereka. Bahasa tersebut memiliki sedikit variasi dari satu daerah ke daerah lain, tetapi dialek-dialeknya memiliki kesamaan.
Diduga bahwa bahasa Nubia berasal dari bahasa Hamitik dengan pengaruh dari bahasa Arab kuno dan kemudian bahasa Koptik. Saat ini perbedaan dalam bahasa Nubia masih ada antara Nubia Hulu dan Nubia Hilir, dengan bahasa Arab sebagai bahasa pilihan.
Warisan Nubia
Nubia memiliki peradaban lebih dari 7000 tahun, yang ditandai oleh hubungan antargenerasi yang kuat. Masyarakat Nubia menghadapi penggusuran karena pembangunan waduk dan bendungan.
Sebagai tanggapan, mereka telah mendirikan asosiasi yang didedikasikan untuk melestarikan warisan mereka. Upaya ini dimulai pada awal abad kedua puluh dan semakin intensif setelah pemindahan yang signifikan pada tahun 1963.
Asosiasi Warisan Nubia didirikan di Kairo pada tahun 1980 untuk menyediakan layanan ilmiah dan budaya melalui penelitian, studi, dan pengumpulan warisan. Asosiasi ini mendokumentasikan adat istiadat, seni, dan lagu serta mempelajari barang antik, kerajinan lingkungan, dan arsitektur.
Seni populer di Nubia hadir dalam berbagai bentuk seperti arsitektur, lukisan dinding, tarian rakyat, adat perkawinan, dan mode. Beberapa ekspresi artistik ini menyerupai aspek-aspek peradaban Mesir Kuno.
Angka Tujuh
Desa-desa Nubia masih menjunjung tinggi banyak adat istiadat dalam pernikahan, nyanyian, pembangunan, dan kehidupan sehari-hari. Keterkaitan mereka dengan angka tujuh sangat menonjol karena memiliki makna penting dalam banyak ritual.
Sejarawan Nubia, Muhammad Sobhi merinci sebuah ritual yang melibatkan pengambilan tujuh genggam tanah dari bawah kaki seorang pelancong, menyimpannya sampai mereka kembali, dan kemudian menaburkannya di depan pintu. Dua ritual terkait pernikahan juga berputar di sekitar angka tujuh.
Dalam ritual pertama pengantin pria menahan diri untuk tidak mengunjungi keluarganya sampai hari ketujuh pernikahan dan kemudian mengunjungi rumah tujuh kerabat. Dalam ritual kedua, pengantin baru mengelilingi pohon palem tua tujuh kali, memegang tongkat hijau dengan tujuh daun.
Demikian pula seorang wanita yang baru saja melahirkan akan melompati api sebanyak tujuh kali. Pada hari ketujuh, ia membasuh wajahnya dengan abu di Sungai Nil. Selain itu, pada hari ketujuh, bayi yang baru lahir dibawa ke Sungai Nil untuk membasuh wajah, tangan, dan kakinya, yang dikenal di luar Nubia sebagai hari Sobou.
Tari Nubia
Irama yang khas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Nubia. Kumba Kash yang dimainkan setelah pernikahan adalah contoh yang menonjol. Irama utama pada upacara pernikahan yang dimaksudkan untuk membuat orang menari adalah Ketchad yang dicirikan oleh motif ritmis.
Tarian palem yang diiringi irama Ollin Arageed memiliki arti penting dalam warisan Nubia.
Tari Aragid yang terinspirasi oleh Sungai Nil sangat terkenal dan merupakan tarian kelompok populer yang melibatkan tarian dalam lingkaran. Para penari membentuk barisan panjang, menggoyangkan badan mereka dan melangkah ke kanan dan kiri secara serempak. Setiap peserta mengidentifikasi diri dengan rantai manusia, mencerminkan gelombang Sungai Nil dalam gerakan mereka, terhubung dengan esensinya dalam individualitas mereka.
Bangsa Nubia yang Terpinggirkan
Pengungsian awal penduduk Nubia terjadi pada tahun 1902 dengan dibangunnya Bendungan Aswan yang mengakibatkan banjir di sepuluh desa Nubia, sebagaimana dilaporkan oleh Institut Studi Politik dan Strategis Mesir. Upaya berikutnya untuk meninggikan bendungan pada tahun 1912 dan 1933 mengakibatkan banjir di 18 desa lainnya.
Gelombang pengungsian yang paling signifikan terjadi pada tahun 1963 dengan pembangunan Bendungan Tinggi. Al Jazeera melaporkan bahwa puluhan ribu orang dipindahkan ke dataran tinggi Kom Ombo, hanya menempati lahan seluas 50 kilometer persegi dibandingkan dengan lahan seluas 600 kilometer persegi yang sebelumnya mereka huni. Selama periode ini, negara mengkategorikan orang-orang Nubia ke dalam dua kelompok yaitu penduduk Nubia Lama yang menyediakan rumah bagi mereka di desa baru, dan ekspatriat yang tidak menerima rumah maupun kompensasi yang memadai.
Tanah Nubia tenggelam seluruhnya dan penduduknya mengalami marginalisasi, stereotip, dan penganiayaan budaya. Film-film Arab menggambarkan orang-orang Nubia sebagai sekelompok orang kulit hitam yang selalu bekerja di pekerjaan rendahan.