Sejarah penuh dengan cerita tentang pulau dan peradaban yang hilang setelah beberapa bencana alam. Namun saya ragu banyak orang yang pernah mendengar kisah tentang pulau Teonimanu, daratan yang kini telah lenyap dari Kepulauan Solomon. Keberadaannya baru kita ketahui sekarang karena ingatan budaya masyarakat yang tinggal di daerah tersebut saat ini.
Bercerita dan membuat mitos adalah aspek mendasar dari budaya manusia. Meskipun banyak elemen dalam kisah-kisah tersebut bersifat fantastik dan mustahil, namun kisah-kisah tersebut telah menjadi wahana bagi banyak kebenaran abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun selain pelajaran tersebut, mitos juga dapat menjadi sumber informasi sejarah terutama tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu. Meskipun beberapa peneliti telah menyadari hal ini selama beberapa waktu, komunitas ilmuwan semakin memperhatikan bagaimana mitos lokal dapat menjelaskan peristiwa geologi yang terjadi ribuan tahun yang lalu.
Pulau Teonimanu adalah contoh nyata dari hal ini. Jika membuka Google Earth dan menelusuri 9°59’36″S 161°59’10″E, tahukah kalian apa yang akan ditemukan? Tidak ada apa-apa. Kalian akan menemukan petak biru tua yang dikelilingi oleh warna biru umum Samudra Pasifik. Namun petak yang lebih gelap ini menunjukkan daratan kecil yang sekarang dikenal sebagai Lark Shoal, yang terendam air pada kedalaman 1 hingga 14 meter (3,2 hingga 45 kaki).
Namun jika memundurkan Google Earth untuk menampilkan area yang sama beberapa ratus tahun yang lalu, maka akan melihat sebuah pulau di tempat Lark Shoal berada saat ini. Di sinilah Teonimanu dulu berada. Sebelum menghilang di bawah ombak bersama beberapa pulau lain di kawasan itu, pulau itu dihuni oleh ratusan orang.
Pulau-pulau yang hilang melalui tradisi lisan dan sejarah diwariskan di antara masyarakat Kepulauan Solomon tengah. Dari catatan mereka, pulau-pulau tersebut mungkin hilang antara akhir abad ke -16 dan akhir abad ke -18 , tepatnya saat penjelajah Spanyol Álvaro de Mendaña (1568) dan penjelajah Inggris James Cook tiba di wilayah tersebut.
Saat tenggelam, konon tenggelam dengan cepat. Kisah-kisah tersebut menceritakan bagaimana hanya sedikit orang yang berhasil mencapai kano mereka dan kemudian mencapai pulau-pulau lain yang aman. Tampaknya pulau-pulau tersebut dilanda gelombang besar yang menutupi pulau vulkanik tersebut sehingga terlihat seperti tersapu begitu saja.
Saat ini, kita mengetahui bahwa Teonimanu terkena dampak gempa dasar laut yang membuat sebagian punggungan bawah laut yang menopang pulau tersebut menjadi tidak stabil. Hal ini menyebabkan tanah longsor raksasa yang menyeret wahana tersebut ke bawah air dan mengirimkan tsunami hingga menutupi Teonimanu.
Jika bukan karena tradisi lisan masyarakat yang sudah turun temurun mendiami wilayah tersebut maka kita mungkin tidak akan mengetahui kejadian ini. Cerita masyarakat mungkin mudah disalah artikan sebagai legenda, sebagai fiksi, namun seperti banyak cerita kuno lainnya, masih ada inti kebenaran yang seiring berjalannya waktu telah terbungkus dalam lapisan hiasan naratif.
Banyak cerita hilangnya pulau Teonimanu berawal dari seorang wanita asal pulau bernama Sauwete’au. Wanita cantik lokal ini menikah dengan Roraimenu, seorang pria yang tinggal di dekat pulau Ali’te.
Suatu hari, Sauwete’au jatuh cinta dan kawin lari dengan pria lain bernama Kaliita’alu dan keduanya kembali ke Teonimanu. Dalam kemarahannya, Roraimenu memperoleh kutukan gelombang yang dia gunakan di pulau itu sebagai cara untuk membalas dendam. Dia melepaskan delapan gelombang destruktif di pulau itu dan naik ke titik tertinggi di Ali’ite di mana dia menyaksikan dengan kepuasan yang jahat.
Mereka yang selamat dari kutukan tersebut tersebar ke berbagai Kepulauan Solomon, namun masih banyak lagi yang kehilangan nyawa akibat tindakan kejam tersebut. Tentu saja materi naratif seputar cerita ini semuanya dilebih-lebihkan dan khayalan, itulah yang menjadikannya sarana transmisi yang hebat dan menarik, namun mereka mengisyaratkan sesuatu yang sangat nyata dan sangat destruktif yang tetap saja terjadi.
Lark Shoel terletak di Cincin Api Pasifik, wilayah yang terkenal sering terjadi gempa bumi dan aktivitas gunung berapi. Melalui penilaian data seismik, menunjukkan bahwa punggung bukit pada dasarnya tidak stabil.
Di seberang Pasifik, ada cerita lain tentang hilangnya pulau-pulau yang mengalami nasib serupa dengan pulau Teonimanu. Narasi lisan ini memberi kita wawasan tentang dunia yang hilang dari sejarah. Namun kisah-kisah seperti yang terjadi di Kepulauan Solomon, serta tempat-tempat lain di mana banyak orang tinggal di lokasi yang bergejolak mungkin juga dapat memberikan pelajaran bagi dunia kita saat ini. Ketika suhu global terus meningkat dan permukaan air laut terus meningkat, pengetahuan tentang tradisi lisan masyarakat adat menjadi lebih relevan bagi lebih banyak orang. Namun pengetahuan seperti itu mungkin akan segera hilang juga.
Para ilmuwan kini mengapresiasi nilai kearifan lokal lebih dari sekadar keingintahuan antropologis, namun semoga masih ada waktu bagi kita untuk belajar darinya.